Jumat, 24 Februari 2017

makalah pembentukan konsep logika dan pengambilan keputusan : psikologi kognitif



MAKALAH
PEMBENTUKAN KONSEP LOGIKA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Mata Kuliah : Psikologi Kognitif
Dosen Pengampu : Dr. Yessy Elita, M.Psi
Logo_Unib.png

\





Oleh:
Irma Nur Anisah          A1G015021


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Untuk beberapa orang psikologi kognitif adalah ilmu tentang berpikir dan pemikiran dapat dikatakan sebagai mahkota kognisi. Untuk beberapa orang menjadi sangat brilian, bahkan menjadi amat mulia diantara kebanyakan orang; dan dalam kenyataanya fakta tersebut terjadi, salah satu keajaiban spesies kita. Dalam realitas, “berpikir” merupakan istilah umum dari pemrosesan informasi. Dengan demikian berpikir tentang pemikiran-meta, mungkin menjadi suatu tugas yang sulit ditanggulangi, karena  mengaitkan seluruh tema yang telah disebutkan sebelumnya—deteksi energy eksternal, neurofisiologi, persepsi, memori, bahasa, perbandingan, dan pribadi yang berkembang.

2.      Rumusan Masalah
1.    Apakah hakikat dari berfikir ?
2.    Bagaimanakah aktivitas kognitif ?
3.    Bagaimanakah penalaran Deduktif ?
4.    Bagaimanakah penalaran Induktif ?
5.    Bagaimanakah pengambilan keputusan setiap individu ?

3.      Tujuan
1.   Untuk mengetahui hakikat berfikir.
2.   Untuk mengetahui aktivitas kognitif.
3.   Untuk mengetahui penalaran deduktif.
4.   Untuk mengetahui penalaran induktif.
5.   Untuk mengetahui bagaimana pengambilan keputusan setiap individu.




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pembentukan Konsep
Pembentukan konsep berhubungan dengan pengasahan sifat-sifat yang sesuai dengan kelas objek atau ide. Dalam pembahasan ini kita akan lebih berkonsentrasi dengan ciri konseptual. Definisi awal konsep adalah “penggambaran mental, ide, atau proses”. Konsep didefinisikan dalam ciri-cirinyaa. Ciri-ciri seperti yang telah digunakan di sini adalah karakteristik suatu objek atau kejadian yang juga merupakan karakteristik objek. Dari sudut pandang kognitif, dasar untuk menerima sebuah karakteristik sebagai sebuah ciri adalah subjektif. Jadi, sseorang dapat membayangkan sesuatu dengan “ciri kritis” seuah objek atau ide adalah penggunaan sesuai keadaan. Dalam hal ini konseptual mirip dengan proses yang dibutuhkan dalam deteksi signal, yang mana penerimanya sebagai ciri dari sebuah konsep ditentukan oleh kakunya kriteria. Penentuan kriteria adalah seperti menentukan toleransi untuk beberapa banyak ciri yang dibutuhkan untuk dapat menjadi bagian kelas objek tertentu.
a.   Asosisasi
Proses asosiasi mendalilkan bahwa pembelajaran konsep adalah hasil dari (1) menguatkan pasangan tepat dari sebuah stimulus dengan respons yang mengindentifikasikannya sebagai sebuah konsep, dan (2) non-penguatan (bentuk hukuman) pasangan yang tidak tepat dari sebuah stimulus dengan respons untuk mengidentifikasikannya sebagai konsep.
b.   Pengujian Hipotesis
Tahap awal dalam pembentukan konsep adalah memilih hipotesis atau strategi yang konsisten dengan objek penyelidikan kita. Ketika kita mencari untuk menemukan sesuatu prosesnya meliputi pembentukan prioritas-prioritas.
Partisipan strategi boleh memilih dalam pembentukan konsep untuk menyertakan pemindaian dan pemusatan, masing-masing memiliki subtipenya yaitu pemindaian simultan, pemindaian berturut-turut, pemusatan konservatif dan kemungkinan focus. Dari strategi yang diutarakan, pemfokusan konservatif menjadi paling efektif; teknik memindai hanya memberikan tingkat kesuksesan marginal.

2.      Logika
       Berfikir adalah proses umum untuk menentukan sebuah isu dalam pikiran, sementara logika adalah ilmu berpikir. Walaupun dua orang dapat berpikir tentang hal yang sama, kesimpulan—keduanya diraih melalui pemikiran—mungkin berbeda, yang saru logis, yang lain tidak logis. Berpikir dan logika telah menjadi subjek spekulasi untuk waktu yang lama. Lebih dari 2000 tahun lalu Aristoteles memperkenalkan suatu system penalaran atau validasi argument yang kita sebut silogisme. Sebuah silogisme mempunyai 3 langkah—sebuah premis mayor, premis minor, dan konklusi, dalam urutan demikian.
       Konklusi diraih ketika penalaran silogistik diakui valid atau benar, jika premis-premisnya akurat dan bentuknya benar. Maka, sangat mungkin untuk menggunakan logika soligistik untuk validasi argument. Konklusin yang tak logis dapat ditentukan dan sebab-sebabnya terisolasi. Ini merupakan pernyataan ringkas dasar teori dan banyak reset mengenai pemikiran dan logika.
       Sebuah ciri menarik dari penggunaan logika silogistik dalam penelitian kognitif adalah kemampuannya memungkinkan kita untuk mengevaluasi atau mengesahkan pembenaran dari proses pikiran berdasarkan bentuknya alih-alih isinya.
a.    Penalaran Deduktif
            Proses penalaran yang di dalamnya kesimpulan-kesimpulan yang spesifik disusun berdasarkan prinsip-prinsip yang lebih umum atau berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahui sebelumnya.
Deduksi 1) dalam logika tradisional, protes penarikan, dengan penalaran, konklusi tertentu dari prinsip-prinsip umum yang diasumsikan benar. Silogisme Aristoteles adalah contoh klasik dari penalaran deduktif dalam tradisi. 2) dalam logika kontemporer, pernyataan apapun diperoleh dengan sebuah transformasi aturan dalam sebuah aksioma; lebih umum, istilah ini sekarang ditujukan pasa sebuah proses mendapatkan teorema dalam aksioma-aksiomanya, atau konklusi dari premis-premis, dengan aturan formal (aturan transformasi).
b.    Penalaran Silogistik
Riset awal untuk mempelajari penalaran silogistik didasarkan pada laporan partisipan dari “apa yang terjadi dalam kepalaku” yang juga diketahui sebagai prosedur “berbicara kera” ketika partisipan mengungkapkan secara verbal langkah yang mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah. Walaupun teknik intropeksi ini kekurangan dasar ilmu empiris yang dibutuhkan, 3 variabel independen telah muncul dari sana: bentuk argument, isi argument, dan kemajemukan individu partisipan.
Bentuk, salah satu cara memecahkan silogisme adalah dengan menggambar diagram yang disebut diagram Venn. Beberapa silogisme lebih sulit dibandingkan yang lain mungkin disebabkan oleh pengetahuan dan kemampuan yang anda miliki untuk mengenali argument yang logis ketika anda menghadapinya.
Atmosfer Efek Atmosfer adalah kecendurungan untuk menerima atau menolak suatu argument berdasarkan bentuknya. Dengan kata lain, mengajukan suatu argument dengan cara tertentu saja bisa mempengaruhi tingkat penerimaan argument itu.sebuah studi menarik pernah dilakukan oleh Clement dan Fahmagne (1986) yang menyatakan bahwa pengetahuan dunia dan gambaran mental berhubungan dengan penalaran logis. Pada dasarnya, peneliti mengubah-ubah tingkat gambaran dari istilah-istilah dan keteraitannya dengan premis bersyarat dalam silogisme.
Isi, karena bisa mempertahankan bentuk argument sambil mengubah-ubah isinya, yang belakangan juga telah menjadi alat yang berguna dalam analisis proses penalaran. Jika premis dari silogisme-silogisme benar, maka kesimpulannya juga benar, walaupun suatu kesimpulan mungkin lebih sulit diterima daripada kesimpulan yang lain. Pengaruh isi atas keabsahan suatu argumen mengingatkan kita bahwa proses kognitif tidaklah sederhana dan tidak mengesampingkan dampak pengetahuan yang tersimpan dalam memori jangka panjang.

3.      Pengambilan Keputusan
       Penalaran Induktif
       Salah satu bentuk lain dari penalaran disebut penalaran induktif. Dalam penalaran induktif, sebuah kesimpulan biasaya dinyatakan secara implisit atau eksplisit dalam konteks pernyataan kemungkinan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa membuat keputusan yang tidak terlalu mencerminkan hasil paradigma silogistik yang sudah dipikirkan baik-baik, tapi dalam konteks induktif, yang keputusannya berdasarkan masa lalu dan ksimpulannya berdasarkanyang dirasa sebagai pilihan terbaik dari sejumlah alternative.
       Induksi dalam logika proses penalaran dari khusus ke umum. Francis Bacon mengajukan induksi sebagai logika penemuan ilmiah dan deduksi sebagai logika argumentasi. Sebenarnya, kedua proses ini digunakan bersama secara teratur dalam ilmu empiric, dengan pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa tertentu atau induksi dan dari prinsi-prinsip yang sudah diketahui atau deduksi, prinsip hipotesis baru kemudian dirumuskan dan hukum dimunculkan.
  Pengambilan Keputusan dalam Kehidupan Nyata
Dialog Penalaran¸salah satu argument bisa diuraikan adalah dengan mengindentifikasikan komponen structural pokok seperti yang dilakukan oleh RIPS dan Koleganya ( RIPS 1998; RIPS, Brem, Baylenson, 1999). Komponen dialog dari argumentative terdiri dari tuntutan kadang-kadang diikuti oleh kelonggaran, permitaan atas dasar kebenaran atau penyangkalan; penyangkalan bisa diikuti oleh kelonggaran atau sangkalan tandingan, dll
     Buah Pikiran yang Keliru dari Reifikakasi, Reifikasi suatu ide artinya menganggap bahwa ide itu nyata ketika sebenarnya ide itu bersifat hipotetis atau metafora.
Argumen Ad Hominem, argument Ad Hominem adalah argument yang menyerang karakter dan bukan isi argumennya. Yang berkaitan dengan argument Ad Hominem adalah argument yang disahkan berdasarkan pengalaman seseorang atau pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman seseorang.
Argumen yang Menggunakan Paksaan dan Kekuatan, kekuatan dan moralitas mungkin bagus, tapi tidak ada hubungannya dengan perjanjian dan hak suatu bangsa atas kedaulatan. Meskipun demikian, sungguh “manusiawi” untuk mengajukan argument semacam itu.
Menggunakan Kekuasaan dan Ketenaran, praktek ini biasa dijumpai diantara para pembuat iklan.
Argumen Mayoritas Pasti Benar, argumennya adalah jika kebanyakan orang melakukan sesuatu, hal itu pasti benar.
Argumen Manusia Jerami, argumen manusia jerami artinya membangun suatu argumen yang leamah dan menghubungkannya dengan orang lain sehingga anda bisa mengalahkannya. Karakteristik argumen manusia jerami yaitu sebuah ciri yang mencolok ( meskipun sangat tidak penting) difokuskan dan dipentingkan untuk mengalihkan tujuan utama argument.
Dukungan Neurosains Kognitif
Studi ilmiah mengenai hubungan antara otak disatu sisi dan penalaran serta pemikiran disisi lain sudah sejak dulu menjadi wilayah ahli saraf (yang berkonsentrasi pada pasien dengan beragam masalah saraf) dan, baru belakangan, ahli neuropsikologi kognitif (yang berkonsentrasi pada studi pengambaran dengan partisipan normal).
Kerangka Keputusan
Kerangka Keputusan merupakan konsepsi tindakan, hasil keluaran, serta kontigensi pembuat keputusan yang diasosiasikan dengan pilihan-pilihan tertentu. Sebuah kerangka diadopsi oleh seseorang saat akan membuat keputusan, dikendalikan oleh permulasi masalah serta norma, kebiasaan, dan karakteristik personal dari individu tersebut. Para peneliti telah mendemontrasikan secara jelas kuatnya sebuah kerangka dalam menentukan kesimpulan yang dicapai individu dengan fakta-fakta yang diberikan kepadanya, tetapi dalam konteks yang berbeda.

Mengukur Kemungkinan/Probabilitas
Dalam beberapa hal, probabilitas suatu peristiwa dapat dikalkulasikan dengan matematika. Sementara kejadian-kejadian lain ditentukan hanya dengan pengalaman kita sebelumnya. Pada serangkaian studi, Tvresky dan Kahnerman (Kahneman, 1973; Tvresky & Kahnerman, 1981) memeriksa orang-orang yang terkadang berakhir dengan kesimpulan yang buruk ketika keputusan mereka yang didasarkan pada pengalaman masa lalu.
Heuristik Keterwakilan (Representativiness Heuristic)
Mengukur probabilitas peluang sebuah kejadian dipengaruhi tidak hanya oleh ketersidaan (Availibility) kejadian tersebut, namun juga besarnya keterwakilan keterjadian dalam hubungan dengan seberapa sama kejadian tersebut dengan ciri esensial populasinya.
Teorema Bayes dan Pengambilan Keputusan
Sebuah model matematika yang menyediakan metode untuk mengevaluasi hipotesis perubahan nilai probabilitas ini disebut Teorema Bayes sesuai dengan penemunya, Thomas Bayes, ahli matematika di abad ke 18.
Probabilitas Kondisional(peluang yang terkondisikan)—peluang informasi baru adalah benar apabila hipotesis-hipotesis tertentu benar.
Beberapa bukti yang dikumpulkan oleh Edward (1968) yang mengatakan bahwa kita cenderung untuk menduga kemungkinan kondisi lingkungan yang lebih konservatif daripada teori Bayes. Pada salah satu penelitian mengenai dampak informasi baru terhadap estimasi kemungkinan yang diputuskan oleh partisipan.
Ketertarikan pada metode Bayes telah bertambah selama beberapa tahun (Melakoff, 1999). Satu alas an bertambah banyaknya penelitian adalah populernya desktop computer dan perkembangan algoritma baru. Beberapa telah menggunakan simulasi tekhnologi yang dikenal dengan Markoff Chain Monte Carlo (dikenal sebagai MCMC bagi praktisi) yang menggunakan konsep matematis Bayes dalam memanfaatkan pengetahuan sebelumnya dalam memprediksi segala sesuatu, dari resonansi inti magnet hingga siapa yang mungkin menjadi tersangka pada kasus terminal. Penggunaan yang belakangan ini telah dipertanyakan karena mengandung “Riwayat Rasial”.

4.      Pembuatan Keputusan dan Rasionalitas
Bab ini nampaknya mempresentasikan manusia sebagai makhluk yang paling rasional. Diskusi kita tentang pembentukan konsep akhirnya menunjukkan bahwa keseluruhan makhluk hidup membentuk konsep menggunakan ketentuan rasional. Pada diskusi pemikiran silogisme, kita belajar bahwa paliditas sebuah argumen  dapat ditentukan olleh ketentuan logis, bahwa jika kita dikelabui oleh salah satu dari struktur atau isi dari argument yang salah. Akhirnya, menurut subbab pengambilan keputusan, kita belajar bahwa kaum manusia yang “ rasional” pada umumnya bertindak irasional ketika mengambil keputusan tentang sekumpulan kejadian yang benar, kita berpikir bahwa akan menjadi bodoh untuk mendebatkan apakah benar orang lain sama rasionalnya seperti kita memperlakukan diri kita, tapi apa benar demikian diri kita, sebagai spesies, dengan kesimpulan yang begitu irasionalnya berdasakan kumpulan hasil yang empiris dari tugas-tugas pengambilan keputusan ?
Penemuan dari Tveresky dan Kahman, sejalan dengan penelitian mengenai pemikiran silogisme, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir rasional secara sempurna, beberapa kalangan telah menyangkal penemuan ini atas dasar rancangan eksperimen dan kesimpulan filosofi pasti yang dipaksakan oleh eksperimen ini. Kritik dari L.G Cohen (1981), dari universitas Oxford, yang memperdebatkan bahwa (1) rasionalitas seharusnya ditentukan oleh orang-orang yang pada umumnya, bukan menurut penyusunan eksperimen laboratorium yang tidak dibuat untuk mengilustrasikan pengambilan keputusan setiap hari dan tidak relavan pada tampilan kenyataannya. (2) tidak beralasan bahwa orang biasa diharapkan menjadi ahli dalam bidang hukum kemungkinan hukum dan statistika yang menjadi dasar dan batas dari penyimpangan bebrapa percobaan. (3) hukum system logis dan rasionalitas tidak relavan dengan prilaku manusia sehari-hari. Ambillah kasus individu yang tidak beruntung pada percobaan menghindari mantannya menggunakan teori Bayes, kemungkinan dari pertemuan dengan orang yang ingin dihindari pesta adalah 0,32. Bagaimana dengan perilaku individu yang melakukan penghindaran ? jika permusuhan antar pasangan tersebut jelas (saya tidak mau sedekat  sampai 100 mil dari dia), bilangan tidak memiliki kemampuan sejauh ini sebagai perilaku.




BAB III
PENUTUP

1.    Kesimpulan
Berfikir adalah proses internal dimana informasi ditransformasikan berfikir dapat diarahkan dan mengambil peranan penting dalam pengambilan keputusan daripada level structural, menghasilkan formasi dari representasi mental.
Konsep formasi melibatkan bentuk yang tajam untuk mengklasifikasikan objek dan pencarian tata cara yang relavan dengan konsep tersebut. Aktivitas kognitif melibatkan proses-proses penting meliputi belajar, asosiasi, dan pengujian hipotesis.
Penelitian mengenai penalaran deduktif mengindikasikan bahwa kesimpulan silogisme dipengaruhi oleh bentuk presetantasi (verbal vs visual), banyaknya alternative bagi premis umum, bentuk argument (positif vs negative), pengetahuan jangka panjang yang berhubungan dengan masalah, dan level intelegnsi problem solver.
Penalaran induktif menghasilkan  kesimpulan yang sering diekspresikan pada kemungkinan pernyataan dan kesesuaian lebih pada pengambilan keputusan sehari-hari daripada silogisme atau penalaran deduktif.
Penelitian pada pengambilan keputusan menunjukkan bahwa solusi untuk suatu masalah dipengaruhi oleh factor memori (keberadaan hipotesis), referensi sudut pandang yang mempengaruhi formulasi masalah, kegagalan untuk menyadari seberapa samakah sebuah kejadian pada populasinya, dan meremehkan signifikansi matematis dari kejadian yang mungkin.

2.      Saran
Sebagai calon tenaga pendidik kita harus memahami tentang psikologi kognitif ini karena kita akan menghadapi peserta didik dan kita diharuskan untuk mengerti bagaimana perkembangan kognitif peserta didik sehingga kita tidak salah dalam memberikan perlakuan kepada peserta didik.







DAFTAR PUSTAKA

Solso L. Robert, dkk. 2007. Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
 

makalah pancasila sebagai dasar fundamental bagi bangsa dan negara indonesia



Pancasila Sebagai Dasar Fundamental Bagi Bangsa dan Negara Indonesia


Dosen pengampu : Dr. Puspa Djuwita, M.Pd.

Oleh :

                                                                                           Irma Nur Anisah                        A1G015021


                 Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Jurusan Ilmu Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Bengkulu
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai warga negara yang baik, setia pada nusa dan bangsa seharusnya mempelajari dan menghayati pandangan hidup bangsa yang sekaligus sebagai dasar filsafat negara, seterusnya untuk diamalkan dan dipertahankan. Pembentukan generasi bangsa terjadi melalui berbagai wadah. Dan salah satu diantaranya adalah dunia pendidikan. Artinya, dunia pendidikan turut ambil bagian dalam pembentukan kualitas generasi sebuah bangsa. Bahkan seorang filsuf Yunani, bernama Plato, sebagaimana ditunjukkan oleh Henry J Schmandt1 menempatkan pendidikan sebagai wadah yang sangat strategis untuk tujuan luhur tersebut. Logika yang dibangun oleh Plato, kalau pendidikan yang diberikan kepada generasi muda bermutu, maka warga negara yang bermutu pun terwujud. Karena itu bagi Plato kualitas pendidikan menentukan mutu warga negara.
Apa yang ditegaskan Plato ini juga tercermin dalam tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana akan dibahas pada butir berikutnya dalam bab ini. Pertanyaan mendasar tentunya : peranan seperti apa yang diambil oleh dunia pendidikan dalam pembentukan mutu warga negara, khususnya generasi muda? Jawabnya pembentuk karakter. Berbagai ahli, antara lain Thomas Licona2, melihat bahwa pembentukan karakter merupakan inti dari pendidikan generasi muda. Licona menegaskan bahwa pendidikan karakter harus menjadi perhatian dalam seluruh jenjang pendidikan, termasuk di perguruan tinggi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Mengapa Pancasila dikatakan sebagai  nilai dasar fundamental bagi bangsa dan negara Indonesia?
2.      Bagaimana penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara?
3.      Apa makna yang terkandung dalam   nilai setiap sila Pancasila?
C.  Tujuan
1.      Untuk  mengetahui sebab Pancasila dikatakan sebagai nilai dasar fundamental bagi bangsa dan negara Indonesia
2.      Untuk mengetahui penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara
3.      Untuk mengetahui makna dari setiap sila  pada pancasila

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Dasar Filosofis Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Bagi Bangsa Dan Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis. Dalam pengertian itu maka Pancasila merupakan suatu sistem filsafat sehingga kelima silanya memiliki esensi makna yang utuh. Dasar pemikiran filosofisnya adalah sebagai berikut : Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mempunyai makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Titik tolaknya pandangan itu adalah negara adalah suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan manusia. Nilai-nilai obyektif Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya, hakikatnya, maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum, universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.
b.      Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
c.       Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia.

Oleh karena itu, dalam hierarki tata tertib hukum Indonesia berkedudukan sebagai tertib hukum tertinggi dan tidak dapat diubah secara hukum sehingga terlekat pada kelangsungan hidup negara. Sebaliknya nilai-nilai subyektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaannya bergantung dan atau terlekat pada bangsa Indonesia sendiri. Hal itu dijelaskan sebagai berikut :

a.       Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa materialis. Nilai-nilai itu sebagai hasil pemikiran, penilaian kritik serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia.
b.      Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.       Nilai-nilai Pancasila didalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai kerokhanian yaitu nilai-nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, estetis dan religius yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa.

Nilai-nilai Pancasila tersebut bagi bangsa menjadi landasan, dasar serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dengan kata lain, bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan das sollen atau cita-cita tentang kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das sein.

2.         Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Negara
Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan nafas humanisme. Oleh karena itu, Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Meskipun Pancasila mempunyai nilai universal tetapi tidak begitu saja dengan mudah diterima oleh semua bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa nilai Pancasila secara sadar dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis perilaku politik dan sikap moral bangsa. Dengan kata lain, bahwa Pancasila milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi identitas bangsa berkat legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Adapun Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya memuat nilai-nilai Pancasila mengandung empat pokok pikiran yang merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Pokok pikiran pertama menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Hal ini merupakan penjabaran sila ketiga.
Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ini adalah penjabaran dari sila kelima.
Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Pokok pikiran ini menunjukkan bahwa negara Indonesia demokrasi, yaitu kedaulatan ditangan rakyat. Hal ini sesuai dengan sila keempat.
Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran dari sila pertama dan kedua. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat dinyatakan sebagai pokok-pokok kaidah negara yang fundamental, karena di dalamnya terkandung pula konsep-konsep sebagai berikut.
a.       Dasar-dasar pembentukan negara, yaitu tujuan negara, asas politik negara (negara Indonesia republik dan berkedaulatan rakyat) dan asas kerohanian negara (Pancasila).
b.      Ketentuan diadakannya Undang – Undang Dasar 1945, yaitu, ”.....maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.” Hal ini menunjukkan adanya sumber hukum. Nilai dasar yang fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap kuat dan tidak berubah, dalam arti dengan jalan hukum apa pun tidak mungkin lagi untuk diubah. Berhubung Pembukaan UUD 1945 memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum. Apabila terjadi perubahan berarti pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam pengertian seperti itulah maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan dasar yang fundamental bagi negara Indonesia terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Di samping itu, nilai-nilai Pancasila juga merupakan suatu landasan moral etik dalam kehidupan kenegaraan. Hal itu ditegaskan dalam pokok pikiran keempat yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsekuensinya dalam penyelenggaraan kenegaraan antara lain operasional pemerintahan negara, pembangunan negara, pertahanan-keamanan negara, politik negara serta pelaksanaan demokrasi negara harus senantiasa berdasarkan pada moral ketuhanan dan kemanusiaan.

3.      Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini :

a.       Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar kemanusiaan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29 UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).

b.      Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu mahluk yang berbudaya dengan memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan demikian, sila ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan. Hakikat pengertian diatas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama :”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.

c.       Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD 1945.

d.      Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan. Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tat cara mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan. Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusankeputusan. Sila ini merupakan sendi asas kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :”... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”

e.       Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia. Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan sosial pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia sebagai pribadi dan manusia sebagai bagian dari masyarakat.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Sebagai suatu dasar filsafat maka sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkis, dan sistematis. Kelima sila dalam Pancasila tidak terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi makna yang utuh.
B.       Saran
Sebagai warga negara yang baik dan generasi penerus bangsa kita wajib mengamalkan setiap nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila pancasila.


DAFTAR PUSTAKA

Zubaidi, Achmad.2010.Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.Yogyakarta:Paradigma

Tanireja, T., dkk, 2014. Kedudukan dan Fungsi Pancasila bagi Bangsa dan Negara Indonesia, Purwokerto: Alfabeta Bandung