DEMOKRASI DAN HAM
Mata
Kuliah : Konsep Moral, Hukum, Demokrasi dan HAM
Dosen
Pengampu : Dr. Osa Juarsa, M.Pd.
Disusun
Oleh :
Irma
Nur Anisah A1G015021
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN
ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
BENGKULU
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Selain demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan elemen
penting untuk perwujudan sebuah negara yang berkeadaban. Apabila demokrasi dan
HAM berjalan dengan baik maka akan melahirkan sebuah tatanan masyarakat yang
demokratis dan kritis terhadap penegakan HAM.
Di era globalisasi saat ini, hampir semua negara menyatakan sebagai negara
demokrasi termasuk negara yang sistem pemerintahannya bersumber dari kedaulatan
rakyat seperti Indonesia. Kedaulatan rakyat merupakan paham kenegaraan yang
penjabaran dan pengaturannya terdapat dalam Undang-Udang Dasar suatu negara dan
penerapannya disesuaikan dengan filsafat hidup rakyat dari negara yang
bersangkutan.
Spirit kerakyatan yang menjadi watak negara Demokrasi merupakan syarat
utama dalam negara yang berkedaulatan rakyat, karena kekuasaan tertinggi berada
ditangan rakyat.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat karena dengan demokrasi
hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi pemerintahan sesuai
kehendaknya dapat dijamin.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, maka
rumusan masalah yang dirumuskan adalah :
1. Bagaimana
perkembangan demokrasi di dunia?
2. Bagaimana
gelombang perkembangan demokrasi?
3. Bagaimana
transisi dan konsolidasi demokrasi?
4. Bagaimana
hukum HAM di era transisi demokrasi?
C.
Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka
tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui perkembangan demokrasi di dunia
2. Mengetahui
gelombang-gelombang perkembangan demokrasi
3. Mengetahui
transisi dan konsolidasi demokrasi
4. Mengetahui
hukum HAM di era transisi demokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengantar
Demokrasi
Nilai-nilai
demokrasi sebetulnya telah tumbuh pada masa Mesir dan Mesopotamia kuno. Namun ide,
nilai-nilai, dan istilah demokrasi diakui lahir/berawal di era Yunani kuno.
Kata Demos yang berarti rakyat dan Kratos/Kratien yang berarti kekuasaan
atau pemerintah. Dari sanalah pemahaman awal tentang demokrasi sebagai pemerintahan
atau kekuasaan di tangan rakyat, atau seringkali dimaknai juga sebagai
kedaulatan di tangan rakyat.
Kamus
hukum mengartikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara
yang tertinggi dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke) rakyat
(an) yang terhimpun melalui suatu majelis yang dinamakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (die gesamte
staatsgewaltlieght allein bei der majelis).
Pola
pemerintahan demokratis juga muncul pada akhir abad ke-11 di kota-kota Italia
Utara dan Tengah. Kota-kota tersebut mengacu pada tradisi Republiken, yaitu
tradisi Republik Roma Kuno. Tradisi ini sebenarnya merupakan aristokrasi
(kekuasaan di tangan para bangsawan dan golongan terpandang), tetapi di
dalamnya rakyat (plebs) selalu
memainkan peranan amat penting.
Ada
dua ciri khusus dari kedua budaya demokratis tersebut di atas, yaitu pertama,
pemerintahan demokratis hanya terwujud dalam kerangka negara yang luasnya tidak
terlalu besar; dan kedua, bahwa demokrasi bersifat cukup langsung di mana
majelis rakyat dan badan-badan perwakilan lain terus menerus berhubungan
langsung dengan rakyat yang telah menetapkan mereka. Akibatnya budaya ini tidak
dapat diterapkan pada negara-negara bangsa yang mulai tumbuh pada abad ke-16.
Itulah sebabnya acuan terhadap cita-cita pemerintahan rakyat secara langsung tidak
dapat ditemukan dalam pustaka filsafat politik dan hukum abad ke-17 dan ke-18.
Seratus tahun kemudian, pada akhir abad ke-19, pola pemerintahan demokratis
modern sudah mulai terwujud dalam beberapa negara.
Melalui
sejarah yang panjang dan pengertian-pengertian yang telah disebutkan, pusat
lingkaran demokrasi adalah rakyat yang menjadi awal, sumber, dan tujuan
kekuasaan atau pemerintahan. Kajian-kajian demokrasi di abad pertengahan yang
masih mengikuti garis pemikiran klasik dari jaman Yunani Kuno, sampai pada
pemikiran sosialisme Karl Marx, memaknai demokrasi sebagai sumber wewenang dan
tujuan sistem politik.
Kemunculan
Magma Charta pada tahun 1215 telah mendorong
nilai-nilai demokrasi semakin konkrit dalam mempormulasikan hubungan rakyat dan kekuasaan sebagaimana
tercermin dalam dua pesan utama Magma Charta yang berjangkauan luas, yaitu
kekuasaan pemerintahan terbatas, dan HAM lebih tinggi dari pada kedaulatan
raja.
Demokrasi
di abad pertengahan ini terus berkembang, lebih-lebih setelah di Eropa muncul
ikaln pencerahan yang dikenal sebagai abad pencerahan (the enligthment) yang mengawali pemikiran demokrasi, dengan
memperkenalkan konsep emansipasi dalam bidang sosial dan agama yang berlangsung
pada awal abad ke-17. Rene Descartes (1596-1650) adalah tokoh yang terkenal
dengan ucapannya ‘’saya berpikir maka saya ada’’ (cogito ergo sum), telah menginspirasi lahirnya gagasan baru yang
meletakkan adanya kombinasi kebebasan individual dengan sistem otoritarian yang
mengatur masyarakat secara menyeluruh di Eropa.
Di
abad pertengahan ini, melalui John Locke (1632-1704), Charles de Secondat
Montesquieu (1689-1755), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) gagasan
merasionalisasi kekuasaan dan pembatasan kekuasaan untuk melindungi HAM semakin
mengemuka. Negara yang memiliki kekuasaan yang besar, harus dibatasi, baik
melalui pengaturan sistem kekuasaan untuk menjamin keseimbangan sistem check and balances seperti gagasan Mntesquieu tentang pemisahan kekuasaan
eksekutif-legislatif dan yudikatif, maupun didasarkan pada hak alamiah yang
dimiliki manusia sejak lahir, yaitu hak hidup, hak atas kemerdekaan, dan hak
atas milik pribadi; sebagai hak asasi manusia yang tidak diserahkan kepada
negara.
Gagasan-gagasan
besar demokrasi yang berkembang di abad pertengahan itu menemukan momentumnya yang tepat dalam revolusi Amerika tahun 1776.
Revolusi Amerika tersebut tidak hanya menandai terjadinya institusionalisasi
gagasan demokrasi di dalam Konstitusi Amerika, tetapi juga melambangkan
milestone perkembangan demokrasi dalam tatanan negara modern. Prinsip-prinsip
demokrasi yang dimuat dalam Konstitusi Amerika sangat mempengaruhi perkembangan
gerakan kemerdekaan di berbagai negara serta pertumbuhan gerakan demokrasi
modern, terutama di negara-negara Eropa Timur, Amerika Latin, Afrika dan Asia
yang hingga dekade 1970-an akhir masih berada di bawah kekuasan rezim
otoritarian.
Dalam
catatan Huntington pertumbuhan demokrasi berlangsung sangat pesat sejak 1902
hingga tahun 1997 menganut komunisme berganti menganut demokrasi, terutama di negara-negara
Eropa Timur. Demikian pula negara-negara yang diperintah oleh junta militer dan
otokrasi bertumbangan untuk digantikan dengan sistem demokrasi.
Gerakan
demokrasi yang disuarakan secara bersama-sama dengan gerakan HAM menjadi
gelombang gerakan besar pembebasan manusia dan warganegara dari dominasi dan
hegemoni rezim otoritarian, yang pada akhirnya berhasil menumbangkan rezim
otoritarian itu satu demi satu, termasuk di Indonesia. Tumbangnya rezim
otoritarian atau otokrasi di belahan Amerika Latin, Eropa Timur, Afrika, dan
Asia tersebut diikuti pula oleh gelombang gerakan masyarakat sipil yang meminta
penguasa baru meletakkan HAM sebagai paradigma kebijakan politik dan hukum di
negara bersangkutan.
Kekuatan-kekuatan
masyarakat sipil berkeyakinan kuat bahwa rezim demokrasi yang secara
substansial adalah rezim yang menjadikan perlindungan HAM sebagai nilai dan
prinsip demokrasi, memiliki daya dukung sistem kekuasan untuk melahirkan
politik hukum HAM yang sejalan dengan demokrasi.
B.
Gelombang
Demokrasi
Demokrasi muncul dan berkembang melalui pikiran dan
perjuangan individu, kelompok dan aktor-aktor sosial. Ia lahir dan berkembang
dalam dialektika kekuasan yang panjang, sepanjang sejarah kehidupan politik
negara dari waktu ke waktu. Daya tarik demokrasi yang mendorong individu atau
aktor-aktor sosial menggerakkan negaranya menuju demokrasi menurut Adam
Przeworski karena demokrasi memperkenalkan ketidakpastian dalam politik.
Bagi Lyman Tower Sargent, demokrasi membuka kunci
keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan politik, kesederajatan
diantara warga negara, kesederajatan kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan
atau dipertahankan warga negara, sistem perwakilan dan sistem pemilu.
Gelombang demokrasi di berbagai negara menjadi
fenomena politik yang cukup menonjol semenjak dekade 1970-an, seiring dengan
berjatuhannya rezim-rezim otoritarian. Gelombang menuju demokrasi sejak dekade
tersebut menurut Huntington jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada
transisi menuju kearah sebaliknya. Pada periode diantara 1974 dan 1990 dalam
catatan Georg Sorensen, gelombang demokrasi berawal di Eropa bagian selatan
(Yunani, Spanyol, dan Portugal). Gelombang berikutny a terjadi di Amerik Latin
( Argentina, Uruguay, Peru, Ekuador, Bolivia, Brazil, dan Paraguay) dan di
Amerika Tengah (Honduras, El Salvador, Nica ragua, Guatemala, dan Meksiko).
Kemudian di Eropa Timur (Polandia, Cekoslowakia, Hungaria, Rumania, Bulgaria,
dan bekas Republik Demokrasi Jerman). Kemudian Afrika dan negara-negara bekas
Uni Soviet. Akhirnya, terjadi di Asia sejak hampir selama periode tahun 1970-an
(Papua Nugini, Thailand, Pakistan,Bnaladesh, Filipina, Korea Selatan, Taiwan,
Mongolia, dan Nepal).
Penjelasan lain terhadap populernya gerakan
demokrasi dewasa ini menurut Giddens dapat dicari penjelasannya dalam
eksistensi globalisasi sebagai perubahan sosial yang paling mendasar dewasa
ini. Di mata Giddens, globalisasi adalah penjelasan paling memadai dibalik
gelombang demokrasi global dewasa ini.
Demokrasi
menjadi populer dewasa ini karena ia merupakan sistem politik terbaik yang
pernah dicapai peradaban manusia. Dibandingkan dengan fasisme yang telah lama
berlalu, komunisme dan pemerintahan militer yang gagal menciptakan pemerintahan
efektif, demokrasi liberal yang berpasangan dengan kapitalisme dalam kancah
ekonomi membuktikan diri mampu bertahan dan bahkan semakin berkembang.
Dalam
diskursus demokratisasi kontemporer, pandangan ortodok ini terwakili pemikiran
Francis Fukuyama. Fukuyama mengemukakan bahwa demokrasi liberal merupakan titik
akhir dari evolusi ideologi manusia sekaligus bentuk final dari pemerintahan
manusia. Fukuyama melihat bentuk-bentuk
ideologi non demokrasi lainnya cepat atau lambat akan melemah dan akhir nya
runtuh. Hal ini disebabkan ideologi-ideologi di luar demokrasi liberal tidak
cukup mampu mengembangkan legitimasi yang memuaskan atas kekuasaannya sendiri.
Rezim-rezim non demokratis tidak memiliki pundi-pundi kebaikan yang akan
meringankannya dalam melewati masa-masa sulit.
Berbagai
upaya demokratisasi yang marak dewasa ini, lebih dilandasi oleh alasan untuk
memperbaiki kebangkrutan dan kebobrokan negara, serta mengejar
ketertinggalannya dengan negara-negara lain yang sukses secara ekonomi politik
melalui penerapan sistem politik demokrasi. Gejala ini nampak sekali pada
gelombang demokratisasi yang marak di Eropa Timur akhir dekade 1980-an. Menurut
teori ini gelombang demokratisasi muncul selain didasari oleh kesadaran akan
tidak efesiennya sistem komunis secara ekonomi dan secara politik, juga
dilandasi keinginan untuk mengejar ketertinggalannya dengan rekan-rekan mereka
di Eropa Barat.
Bagi Fukuyama,
kapitalisme berkaitan dengan demokrasi karena kapitalisme mampu menyediakan
otonomi material yang memungkinkan terselenggaranya penghormatan timbal balik.
Kemajuan ekonomi yang dihasilkan kapitalisme oleh Fukuyama dipandang mampu
meningkatkan kondisi-kondisi bagiotonomi individual. Melalui cara pandang ini
kapitalisme dan demokrasi menemui titik temunya dalam pemenuhan hasrat untuk
mendapatkan pengakuan suatu hasrat kemanusiaan yang mendasar dan universal.
Konsekuensinya, ideologi-ideologi di luar demokrasi liberal karena
ketidakmampuannya untuk memenuhi hasrat kemanusiaan yang paling mendasar
tersebut diyakini tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk berkembang
universal. Selain pendekatan ortodok di atas, penjelasan tentang akselerasi
demokratis dewasa ini datang dari pendekatan alternatif. Pendekatan alternatif
muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap penjelasan ortodok.
Menurut pendekatan alternatif,
pendekatan ortodok selain mencoba mengukuhkan orthodoksi demokrasi dengan
argumentasi baru tidak banyak menawarkan penjelasan yang membantu. Pendekatan
ortodok dalam melihat fenomena gelombang demokratisasi yang berkembang
universal dewasa ini, lebih mendasarkan diri pada perjalanan dialektika
historis yang membuktikan demokrasi liberal memang ideologi dan sistem politik
terbaik serta universal. Terhadap penjelasan ini, pendekatan alternatif
mempertanyakan ; jika ideologi liberal memang ideologi terbaik dan universal
mengapa terjadi gelombang demokratisasi universal yang baru.
Di
samping alasan-alasan teoritik itu, pengalaman traumatik masyarakat dan
kekuatan-kekuatan demokrasi dalam negeri terhadap rezim otoritarian di berbagai
negara yang dilanda gelombang demokrasi memicu percepatan gelombang demokrasi
dimaksud. Meskipun gelombang demokrasi yang terjadi di berbagai negara itu
dalam perkembangannya menunjukkan kecenderungan yang tidak sama. Pada sebagian
justru kembali ke otoritarian , sebagian yang lain berada pada transisi yang
panjang, dan sebagian yang lainnya mengalami stagnasi, dan lebih diwarnai
dengan pemerintahan otoritarian ketimbang warna demokrasi. Dengan kata lain,
gelombang demokrasi yang melanda dan terjadi pada setiap negara , tidak secara
serta merta mengakhiri rezim otoritarian untuk digantikan secara mutlak oleh
rezim demokratis.
Pada
sebagian besar kasus, gelombang demokrasi diwarnai oleh negosiasi dengan
kekuatan-kekuatan yang mendukung rezim otoriter. Hal tersebut disebabkan karena
permulaan demokrasi sering didahului dengan perpecahan dalam koalisi
kekuatan-kekuatan di belakang pemerintah otoriter, perpecahan garis keras dan
garis lunak. Garis lunak menginginkan bentuk pemerintahan yang lebih demokratis
dalam rangka mendapatkan kekuasaan dalam konfliknya dengan garis keras.
Sementara sisa kekuatan rezim lama yang masih aktif di panggung politik yang
terang-terangan tidak menyukai demokrasi, memberikan argumen bahwa demokrasi
menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Logika stabilitas politik sebagai
prasyarat kemajuan ekonomi, dan membuka partisipasi masyarakat dalam menuntut
hak dan kebebasan dinilai menghambat perkembangan ekonomi merupakan alasan
golongan yang menolak demokrasi.
Kalangan
yang menolak demokrasi itu, sangat mempercayai pandangan M.Linset, yang
menyatakan bahwa semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara
tersebut untuk melangsungkan demokrasi, atau seperti yang dikatakan Robert
Dahl, bahwa semakin tinggi tingkat
sosial ekonomi suatu negara, maka semakin mungkin bagi negara tersebut untuk
menjadi demokratis. Kesejahteraan akan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan
untuk meredakan ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik. Dengan
argumen itu, golongan ini berpendapat pentingnya meningkatkan kesejahteraan
ekonomi (pertumbuhan ekonomi) terlebih dahulu daripada mendorong demokratisasi.
Demokrasi
tidak bisa dibangun dan dijalankan dalam keadaan lapar. Demokrasi hanya bisa
tegak dalam masyarakat serba kecukupan. Pandangan demikian itu dalam realitas
di beberapa negara tidak terbukti. Taiwan,Singapura dan China adalah contoh
negara dengan pencapaian kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang tinggi dalam
struktur kekuasaan yang tidak demokratis , atau sebaliknya, India bisa
menjalankan demokrasi dalam keadaan situasi ekonomi yang tidak stabil.
Gelombang
demokrasi dua dekade terakhir memang harus dijelaskan lebih mendalam, dalam
berbagai konteks dan negara karena tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan
gelombang tersebut. Terdapat variabel yang saling terkait di level internal dan
eksternal masing-masing negara. Pendek kata gelombang demokrasi yang melanda
negara-negara yang lepas dari kekuasaan otoritarian tidak serta merta
memuluskan transisi demokrasi menuju pembentukan negara demokrasi, beserta
seluruh perangkat-perangkat kelembagaan dan prosesnya pada keadaan yang
sepenuhnya dalam kendali kekuatan pro demokrasi.
Pertarungan
kepentingan antara pendukung rezim lama , yaitu militer dan birokrasi sipil
yang menyangga administrasi kekuasaan, berhadapan dengan kekuatan pro demokrasi
, cenderung menghasilkan kompromi-kompromi politik, lebih-lebih jika rezim masa
lalu itu menanggung dosa hukum dan politik , seperti korupsi dan pelanggaran
HAM yang serius, maka tentu agen-agen rezim otoritarian masa lalu tidak akan
membiarkan gelombang demokrasi menuju penataan sistem politik demokratis itu
sepenuhnya dalam skenario kekuatan pro demokrasi. Setidak-tidaknya mereka
membayang-bayangi proses itu dengan menghembuskan kemungkinan skenario merebut
kembali kekuasaan dengan cara kudeta. Bayang-bayang itulah yang mengantarkan
kekuatan rezim lama dan rezim baru menuju meja perundingan untuk menegosiasikan
kemungkinan-kemungkinan politik dan hukum terhadap dosa-dosa rezim sebelumnya
itu.
Gelombang
demokrasi dan transisi demokrasi di banyak negara paska otoritarian memang
lebih banyak ditandai dengan negosiasi dan kompromi, sebagaimana yang terjadi
di Afrika Selatan, Uganda, Argentina, Rwanda, Somalia, dan seterusnya. Meskipun
hasil dan wujud kompromi itu berbeda-beda, tetapi ia tetap merupakan hasil
kesepakatan-kesepakatan yang lahir dari pergolakan pemikiran dikalangan kaum
realis dan idealis dalam tubuh kekuatan pro demokrasi , yaitu antara
menyelamatkan demokrasi terlebih dahulu atau mengedepankan jalan hukum dengan
resiko terancamnya transisi demokrasi.
Pada
negara-negara yang umunya dikendalikan atau ditopang oleh kekuatan militer
dengan masa lalu yang diliputi oleh kentalnya kejahatan pada kemanusiaan dan
korupsi, gelombang dan transisi menuju demokrasi tetap dibayangi oleh
resistensi militer (terutama) yang mencemaskan, karena pada banyak negara
ancaman kedua kudeta atau bentu-bentuk operasi militer rahasia sebagai bagian
dari upaya menggelapkan masa lalu atau menekan elite baru agar tidak menyentuh
kejahatan masa lalu, telah membuat banyak negara tersebut mengambil jalan
kompromi, sebagai transisi demokrasi yang berlangsung, lebih merupakan
perubahan karakter rezim dengan melupakan masa lalu, atau minimal tidak
mengingat-ingat masa lalu, sembari menyerukan agar masyarakat dan pemimpin
bangsa melihat lurus ke depan, dan tidak perlu lagi melihat ke belakang.
C. Transisi dan Konsolidasi
Demokrasi
Secara gramatikal kata transisi bisa
dilacak dalam bahasa latin dan bahasa inggris. Dalam bahasa latin transisi
merupakan perpaduan dari dua kata , yaitu trans
dan cendo. Trans diartikan dengan di seberang, di sebelah sana , di balik,
menyebrangi. Sementara cendo diartikan
melangkah ke sesuatu yang lain, berpindah. Dengan demikian transisi bisa
diartikan sebagai melangkah , berpindah atau menyebrang ke daerah sana.
Sedangkan dalam bahasa inggris transisi berasal dari kata transistion yang diartikan dengan peralihan atau pancaroba.
Dalam
kamus bahasa Indonesia transisi diartikan sebagai peralihan dari keadaan (
tempat, tindakan, dan sebagainya) kepada yang lain. Transisi demokrasi berarti
peralihan atau perpindahan sistem politik, dari sistem politik tertentu
(monarki atau otoritarian) ke sistem politik demokratis. Di era kontemporer,
penggunaan transisi diartikan sebagai perubahan ke arah lebih liberal,
sebagaimana tergambar pada transisi awal abad ke-20 yang terjadi di Jerman
Barat, Italia, Austria, Prancis, Jepang, Spanyol, Portugal dan Yunani. Dalam
konteks studi ini demokrasi diartikan sebagai masa peralihan kekuasaan
otoritarian yang militeristik ke sistem demokratis.
Transisi merupakan tahap yang
paling penting karena merupakan proses peralihan kekuasaan politik, tetapi
jalur yang oleh setiap negara dalam proses transisi berbeda satu sama lain.
Donald Share mengungkapkan ada empat jalan transisi menuju demokrasi. Pertama, transisi inkremental yaitu
jalan demokrasi secara bertahap yang bersifat gradual yang melibatkan para
pemimpin rezim yang berkuasa. Kedua,
jalur transaksi yang berlangsung secara cepat dengan melibatkan para pemimpin
rezim secara konsensual. Ketiga, transisi lewat perjuangan
revolusioner yang berlangsung secara bertahap dan nonkonsensual. Keempat, transisi lewat perpecahan
(revolusi, kudeta, keruntuhan dan ekstrisi) yang berlangsung cepat tanpa
melibatkan peran pemimpin rezim.
Samuel Huntington juga mengajukan
empat jalan. Pertama, jalan transformasi atau transisi menuju demokrasi yang
diprakarsai oleh rezim yang berkuasa. Kedua, transisi lewat negoisasi di tengah antara rezim yang
berkuasa dengan kekuatan oposisi. Ketiga, jalan pergantian atau tekanan
kekuasaan oposisi dari bawah. Keempat, intervensi dari luar. Tetapi jalur
apapun yang ditempuh suatu negara, transisi demokrasi baru bisa dikatakan
lengkap ketika kesepakatan mengenai prosedur politik yang diperoleh sudah
mencukupi untuk menghasilkan pemerintahan yang terpilih, ketika suatu
pemerintahan memiliki kekuasaan yang dihasilkan secara langsung melalui
pemilihan umum yang bebas dan langsung, ketika pemerintahan memiliki kewenangan
secara de facto untuk menerapkan kebijakan-kebijakan baru, dan ketika kekuasaan
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif diperoleh melalui demokrasi baru,
dan bukannya melalui pembagian kekuasaaan diantara lembaga-lembaga tersebut
secara de jure.
Bagian lain dari transisi
demokrasi yang juga beragam adalah pemicu terjadinya transisi. Ketika gelombang
pertama transisi terjadi pada tahun 1970-an di Eropa, pemicunya adalah
perpecahan dalam tubuh kekuasaan otoriter itu sendiri. Di negara Asia dipicu
oleh korupsi kalangan elite militer dan kriris ekonomi berkepanjangan, yang
membuat militer dari kalangan perwira menengah dan klas menengah melakukan
kudeta. Di bagian Afrikalebih banyak
dipicu oleh konflik etnis, perang saudara dan kemiskinan yang membuat
negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris , atas nama
menyelamatkan kemanusiaan melakukan operasi militer dan mendudukkan tokoh-tokoh
oposisi atau kekuatan pro demokrasi menggantikan rezim otoritarian.
Demokratisasi atau proses menuju
demokrasi di Afrika juga dipengaruhi transisi demokrasi yang terjadi di Eropa.
Ketika rezim komunis berakhir, 38 dari 45 negara di Afrika masih di bawah
pemerintahan sipilatau militer yang menerapkan sistem satu partai. Setelah 18 tahun kemudian, lebih dari
setengahnya telah menerapkan sistem multipartai.
Transisi demokrasi di Asia tidak
terjadi dalam kurun waktu yang sama dengan Afrika sehingga sulit dijelaskan karakter
transisi nya. Transisi yang terjadi di Asia menggambrakan karakteristik yang
berlainan. Seperti Filifina yang dilanda ancaman kudeta militer, meskipun
isu-isu dibalik ancaman dan kudeta yang pernah terjadi lebih karena isu
korupsi. Sementara di Nepal, negara miskin yang sangat tergantung secara
ekonomi dengan India, pada akhirnya berhasil memaksa raja Nepal untuk berbagi
kekuasaan untuk, misalnya menyatakan keadaan darurat tanpa persetujuan kabinet.
Kompromi yang melahirkan demokrasi semi monarki atau disebut juga dengan
monarki konstitusional, merupakan kesepakatan atau kompromi politik yang bisa
dicapai di Nepal.
Di Pakistan kekecewaan masyarakat
sipil terhadap pemerintahan sipil yang silih berganti pada akhirnya memicu kudeta militer di negara tersebut.
Isu korupsi dan pemerintahan yang tidak stabil di bawah pemerintahan sipil
membuat Jenderal Perves melakukan kudeta militer terhadap pemerintahan sipil
pimpinan Perdana Menteri Nawaz yang mendapat dukungan masyarakat. Thailand
adalah negara teakhir di Asia yang dilanda kudeta militer atas pemerintahan
sipildengan isu korupsi dan ketidakstabilan politik pemerintahan sipil.
Dalam transisi demokrasi
berlangsung juga konsolidasi demokrasi, sebagai upaya yang lebih terarah pada
pemantapan untuk menumbuhkan keyakinan masyarakat dan kalangan elite, bahwa
demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik, dan bahwa aturan-aturan yang
disediakan di dalamnya merupakan satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan.
Atau dalam ungkapan Juan J. Linz demokrasi
menjadi “the only game in town” (satu-satunya
aturan yang berlaku). Keyakinan akan demokrasi tersebut akan tetap terpelihara
dalam situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga
mayoritas rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan
berdasarkan parameter-parameter yang terdapat dalam prosedur demokratis.
Dengan kata lain proses
konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh
elemen masyarakat pada aturan main demokrasi juga dipahami sebagai proses panjang
yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, mencegah erosi demokrasi,
menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi,
pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan.
Untuk
melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut diamond mengajukan beberapa agenda,
antara lain .
1. Memperluas
akses warga negara terhadap sistem peradilan dan membangun suatu rule of law
yang sesungguhnya
2. Penguatan
pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legislatif sehin gga menjadi
badan yang profesional dan independen
3. Desentralisasi
kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah,sehingga demokrasi dapat
lebih responsif dan bermakna bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah suatu
negara
4. Menciptakan
partai-partai politik yang mampu memobilisasi dan merepresentasikan kepentingan
yang berkembang di masyarakat bukan hanya kepentingan personal para pemimpin
dan lingkungan para politisi belaka
5. Membangun
kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara modal
sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan
konstitusional dari negara .
Agenda
konsolidasi yang ambisius tersebut,memerlukan peningkatan aturan hukum baru,
penumbuhan lembaga – lembaga baru dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga
negara, sistem kepartaian dan masyarakat sipil. Dalam keyakinan diamon, apabila
upaya-upaya tersebut berhasil,maka dalam waktu 10-15 tahun akan terjadi
transformasi dari demokrasi elektoral menuju demokrasi liberal atau demokrasi konstitusional yang stabil. Sementara
itu juan linz menyebutkan ada lima kondisi yang saling berkaitan dan saling
menguatkan satu sama lain yang diperlukan agar demokrasi terkonsolidasi yakni:
1. Kondisi
yang memungkinkan pengembangan masyarakat sipil yang bebas
2. Adanya
masyarakat politik yang otonom
3. Kepatuhan
dari seluruh pelaku politik utama, terutama dari para pejabat pemerintahan pada
rule of law,
4. Harus
terdapat birokrasi negara yang dapat dipergunakan oleh pemerintahan demokratik
baru (usable bureaucracy)
5. Keharusan
akan adanya masyarakat ekonomi yang terlembagakan.
Dalam
kaitanya dengan pemilu, Linz memasukan pemilu dan aturan pemilu ke dalam ranah
masyarakat politik (political society). Linz sendiri menyebut, bahwa pada
dasarnya kekuatan masyarakat sipil dapat menghancurkan rezim non-demokratik,
tetapi untuk kepentingan konsolidasi demokrasi harus menyertakan masyarakat
politik. Konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya peningkatan apresiasi warga
negara atas lembaga inti dalam suatu masyarakat politik yang demokratis, yakni partai politik, legislatif,
pemilu, aturan pemilu, kepemimpinan politik dan aliansi antar partai dalam
pandangan goran hyden, elite harus mempunyai sikap, pilihan, tindakan dan
keyakinan yang kuat pada demokrasi serta saling membangun konsensus bersama
untuk konsolidasi demokrasi.
Sebagaimana
pengalaman banyak negara, konsolidasi demokrasi prosesnya tidak berakhir di
situ. Rezim baru seringkali menjadi negara demokrasi yang terbatas, meskipun
lebih demokratis dibanding sebelumnya, tetapi tarik ulur diantara kepentingan
rezim lama dengan rezim baru masih mewarnai konsolidasi demokrasi. Dengan kata
lain proses matang menuju konsolidasi demokrasi yang solid memakan waktu lama, seringkali puluhan tahun,.
Dalam kasus Inggris Raya, proses keseluruhan memerlukan lebih dari dua ratus
tahun.
Di
Afrika Selatan, kesepakatan untuk menghentikan pemerintahan aphartheid menjadi
syarat pemberian amnesti terhadap pelanggaran “politik” pada pemerintahan
sebelumnya. Promotion of national unity and reconsiliation bill memberikan
amnesti dengan syarat pengakuan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan dengan
tujuan persatuan masyarakat. Serupa dengan di afrika, di Uruguay berlangsung
negosiasi yang sengit antara politisi sipil dan militer guna melapangkan jalan
menuju konsolidasi politik demokratis. Pemerintahan baru memberi garansi kepada
kekuatan militer bahwa tidak ada proses prosekusi terhadap mereka melalui apa
yang dikenal dengan naval agreement. Jadi jelas tergambar bahwa pemerintahan
baru yang lahir dari negosiasi politik mengedepankan konsolidasi, demi terwujudnya
demokrasi.
Dalam
konteks itu, kebijakan – kebijakan politik dan hukum HAM yang lahir di era
transisi tidak saja berupa penghapusan hukum-hukum yang bertentangan dengan HAM,
tetapi juga pembentukan hukum-hukum HAM yang baru yang mengemban misi penguatan
masyarakat sipil sejalan dengan demokrasi yang sedang dibangun .
Pada situasi transisi itulah terjadi
pergulatan kepentingan antara kekuatan pro demokrasi dengan elemen – elemen
rezim orde baru. Satu sisi kuat desakan agar rezim otoritarian, bahkan
menginginkan dilakukannya penghukuman administratif dengan melarang pendukung
orde baru ikut serta menjadi bagian dari
pemerintahan baru. Disisi lain tentu saja timbul perlawanan yang kuat melalui parlemen,
TNI, Polri dan Birokrasi yang secara de jure dan de fakto masih eksis, bahkan
menjadi bagian penting dari rezim baru itu sendiri mendesakkan kepentingan agar
perubahan yang terjadi tidak merugikan, apalagi mengancam eksistensi mereka.
Itu
sebabnya agenda menagih tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM rezim lama
sebagai agenda konsolidasi demokrasi, bukan perkara mudah. Di era transisi dan
konsolidasi, masalahnya bukanlah terletak pada keharusan memilih antara
keadilan atau kebenaran, tetapi bagaimana mengambil langkah tepat yang mungkin
dapat dikerjakan dan paling kondusif untuk membangun kembali tatanan moral dan
hukum berdasarkan keadaan –keadaan khusus yang dihadapi tiap – tiap negara .
Wacana
lain penanganan pelanggaran HAM masa lalu di era transisi dan konsolidasi
demokrasi adalah pengungkapan kebenaran fakta atas kebenaran terjadinya suatu
peristiwa .
Sebagai
suatu istilah, ia tidak dicantumkan secara ekspelisit dalam instrumen utama
HAM, kecuali dalam pengertian yang luas. Ia terkait dengan kewajiban negara
untuk memberikan pertanggung jawaban terhadap pelanggaran HAM atau berbagai kejahatan
internasional lainnya. Hak mengetahui kebenaran terkait dengan kewajiban
melakukan investigasi, klarifikasi, penyelidikan (inquiry) maupun prosekusi
(trial) dan kompensasi bagi korban .
Hak
mengetahui kebenaran ( the right to know
the truth ) masa lampau itu mengimplikasikan kewajiban negara untuk
“mengingat”. Kewajiban tersebut berhubungan dengan tugas untuk melakukan
klarifikasi, menjelaskan pada korban ,keluarga dan publik tentang apa yang
terjadi, bagaimana hal itu terjadi, siapa yang terlibat, apa alasan serta
motivasinya dan bagaimana proses
penanganannya. Selain itu, hak tersebut juga mengandaikan adanya kewajiban
negara melakukan perbaikan ke depan dan tidak sekedar melupakan atau mengubur
sejarah dan berbagai pengalaman pahit masa lampaunya. Tiga standar minimal yang
harus dilakukan negara. Pertama, kewajiban mengingat ( the duty to remember). Kedua, kewajiban menghukum (the duty to
presecute), dan ketiga, kewajiban reparasi (the
duty to redress) .
Usaha
menyelesaikan kejahatan kemanusiaan masa lampau sebagai bagian penting
konsolidasi demokrasi telah melahirkan berbagai komisi kebenaran yang
diorientasikan tidak hanya untuk mengungkap kejahatan masa lampau, namun
sekaligus medium penyelesaian damai antarberbagai kekuatan politik, terutama
kekuatan politik rezim lama dengan rezim baru. Visi misi komisi kebenaran yang
demikian itu telah mendorong terbentuknya tidak kurang 25 komisi kebenaran di
berbagai negara sejak dekade 1970-an. Pengalaman negara-negara tertentu telah
pula menginspirasi banyak negara lain membentuk komisi untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM masa lampau.
Arti
penting dari komisi kebenaran bagi konsolidasi demokrasi tidak sekedar mengungkap
fakta, tetapi juga pengakuan negara bbahwa negara tidak pernah melakukan
kejahatan terhadap warga negaranya sendiri, sekaligus mengambil pelajaran untuk
melakukan perubahan mendasar ke depan, kendatipun tidak sepenuhnya diterima
oleh sebagian kekuatan pro demokrasi, karena dinilai “ menyembunyikan “
impunity (kekebalan hukum) dan melanjutkannya. Tetapi itulah hasil dari
pergulatan dan negosiasi politik dalam era konsolidasi demokrasi yang keras dan
rentan.
Bagi
pemegang kekuasaan politik baru, tentu lebih memilih stabilitas proses
demokrasi yang masih rentan itu, sementara bagi penguasa politik lama, lebih
berkepentingan agar kesalahan mereka di masa lalu tidak diungkit lagi dan
dimintai pertanggungjawaban. Kepentingan – kepentingan itulah yang harus
diakomodasi dalam era transisi dan konsolidasi demokrasi .
Bekas
presiden Uruguay, Julio Sanguinetti yang terpilih menjadi presiden hasil kompromi
militer dan politisi sipil, tegas memilih mementingkan konsolidasi demokrasi
ketimbang mengadili para pelaku pelanggaran ham yang berat yang dapat
membahayakan upaya pengkonsolidasian demokrasi. Dia pernah menantang para pengkritiknya
dengan pertanyaan: “Apakah kita akan melihat ke masa depan atau ke masa lampau?
Dia jawab sendiri pertanyaan itu dengan mengatakan: “Apabila Prancis masih
memikirkan pembantaian malam di St.Bartholomeus, maka mereka akan saling
membunuh sampai hari ini.“ Merespon pesan yang ingin disampaikan oleh sanguinetti dengan pernyataanya itu, yakni perdamaian lah
yang terlebih dahulu harus diusahakan, bukan penghukuman .
Negosiasi
dan kompromi yang dituangkan dalam berbagai wujudnya akhirnya menjadi pilihan
yang paling banyak diambil .prioritas penyelamatan politik (transisi dan
konsolidasi demokrasi) dengan resiko meminggirkan proses hukum, akhirnya
menjadi pilihan realistis yang diambil banyak negara. Ancaman kekuatan rezim
lama untuk kembali ke kekuasaan otoritarian.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Demokrasi adalah
kekuasaan di tangan rakyat atau kedaulatan di tangan rakyat. Artinya demokrasi
memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk memerintah dirinya sendiri yang
terhimpun melalui suatu majelis yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Gerakan demokrasi disuarakan dengan gerakan HAM menjadi gelombang
gerakan besar pembebasan manusia.
Gelombang demokrasi yang melanda
negara-negara tak lepas dari kekuasaan otoritarian. Dalam transisi demokrasi
berlangsung juga konsolidasi demokrasi, sebagai upaya yang lebih terarah pada
pemantaban untuk meyakinkan masyarakat bahwa demokrasi adalah bentuk
pemerintahan terbaik. Kebijakan politik dan hukum HAM yang lahir di era
transisi tidak saja berupa penghapusan hukum-hukum yang bertentangan dengan
HAM, tetapi juga pembentukan hukum HAM baru yang mengemban misi penguatan
masyarakat sipil yang sejalan dengan demokrasi yang sedang dibangun.
B. Saran
Sebagai
masyarakat yang hidup di negara yang demokrasi kita harus melaksanakan peran
kita sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dengan baik, jangan menyalah
gunakan hak dan kewajiban sebagai masyarakat. Berani menolak hukum yang
bertentangan dengan HAM.
Daftar Pustaka
Ismatullah,Dedi. 2012. Pengantar
Ilmu Hukum. Pustaka Setia : Bandung
Marzuki, Suparman.
2011. Tragedi Ilmu Politik. Pustaka Belajar : Jogjakarta
Haricahyono,
Cheppy. 1995. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. IKIP : Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar